Jumat, 12 November 2010

To Be Yours, Bab I part 01

B 5115 DS. Deretan ini terus berkeliaran di kepala Ranggi, matanya telah menatap tulisan itu selama hampir dua jam. Mobil sedan warna biru metalik yang yang ada di depannya ini tampaknya memiliki tujuan yang sama dengannya. Kadang kala ia dapat melihat pengemudinya membuka jendela mobilnya untuk merokok. Remaja yang masih memakai seragam SMA. Melihat bocah itu, Ranggi berpikir apa yang diinginkan orang tua si bocah dengan membelikan anaknya mobil semewah ini. Di bayangan Ranggi bocah itu akan tumbuh menjadi orang yang merasa bisa mendapatkan barang yang ia inginkan dengan mudah. Ranggi menggeleng, mencoba menghapus pikiran buruknya. Ia jengkel ketika menyadari kebiasaannya mengomentari tindakan orang lain terulang lagi.

Berulang kali ia mencoba menyingkirkan kebiasaan buruk ini tapi belum berhasil juga.
Ranggi kembali mengingat kenangannya semasa SMA. Saat itu ngin sekali punya mobil, seperti mobil Gaby yang selalu dibawa ke sekolah. Seperti yang telah diduga sebelumnya, ayahnya menolak mengabulkannya. Beliau selalu berkata belum saatnya dan Ranggi harus menunggu setelah lulus SMA untuk memilikinya. Untuk mendapatkan mobil itu pun, ia harus kerja sambilan di perusahaan ayahnya selama liburan sebagai cleaning service. Namun diam-diam, Ranggi bersyukur ayahnya tak mengabulkan permintaannya. Pengalaman itu menjadi pelajaran berharga baginya. Ia selalu kagum dengan ayahnya, yang meurutnya merupakan sosok ayah yang hebat. Ayahnya selalu penuh kasih tapi tak pernah memanjakan.

Bunyi dering handphone Ranggi memecahkan lamunannnya. Ranggi mematikan musik.

“Kenapa Yah?” Ranggi diam, ‘macet nih Yah, yah paling cepet satu jaman lah. Pesawatnya belum nyampai kan Yah?’

Seperti sebelum-sebelumnya, Ranggi mendapat tugas dari ayahnya untuk menjemput rekan bisnis sang ayah yang datang dari luar negeri. Kali ini dari Taiwan.

“Iya, inget kok. Mr. Huang!” kata Ranggi cukup keras. Ia kesal jika sang ayah kurang mengandalkannya. Namun Ranggi tak bisa mengelak dari hal itu, ia sepenuhnya sadar kadang kala ia memang kurang dapat diandalkan.

Setelah mengakhiri percakapannya dengan sang ayah ia kembali menatap jalanan di depannya. Masih di tengah kemacetan dan masih mobil yang sama, B 5115 DS. Ranggi kembali mengingat kenangannya, kali ini saat ia masih kanak-kanak. Ia ingat betul ketika liburan sekolah berkunjung ke rumah Eyang yang ada di Jawa. Sang Eyang selalu mengajaknya jalan-jalan keliling desa, melewati pematang sawah dan melihat-lihat kegiatan memanen padi. Kadang kala ia melihat anak-anak seusianya ikut membantu memanen padi dan ingin menirunya. Sayangnya bundanya tidak pernah mengizinkan ia ikut memanen karena takut kulitnya akan terserang gatal-gatal. Suatu kali ia nekat ikut memanen padi di sawah eyangnya. Seperti yang telah diperkirakan sang bunda, badannya bentol-bentol. Habis itu ia kapok mengulanginya, tak pernah lagi ikut memanen. Walau bukan pengalaman yang menyenangkan tapi ia mendapatkan teman-teman baru.

Teman-teman kampungnya ini yang menemaninya bermain sepanjang liburan. Kadang-kadang Ranggi diajak main keliling kampung. Tapi mereka lebih sering bermain di pendhopo rumah eyangnya seperti anjuran bunda Ranggi. Bundanya takut Ranggi luka-luka ketika bermain di luar pengawasannya. Banyak permainan tradisional yang diajarkan oleh teman-teman kampungnya ini seperti congklak, bola bekel, dakon, dan lompat tali. Namun, teman-teman kampungnya paling menyukai sesi dongeng oleh bunda Ranggi. Mereka selalu antusias menanggapi pertanyaan-pertanyaan bunda Ranggi mengenai jalan ceritanya. Padahal Ranggi sangat bosan mendengarnya, ia sudah berulang kali mendengarkan cerita-cerita itu sejak masih balita. Bundanya selalu menegur Ranggi ketika Ranggi ingin memotong sesi dongeng mereka. Pada akhirnya Ranggi sadar bahwa teman-temannya tak memiliki ibu seperti bundanya. Ibu-ibu mereka menghabiskan waktunya untuk mencari uang tambahan belanja rumah tangga. Ibu-ibu mereka tak memiliki cukup waktu seperti bundanya untuk mendongeng bagi mereka. Mengingatnya membuat Ranggi tersenyum haru.

Ketika beranjak dewasa ia mulai merasa kehilangan teman-temannya. Mungkin karena mereka menjalani fase hidup yang berbeda. Salah satu teman perempuannya menikah ketika Ranggi masih duduk di kelas dua SMP. Yang lainnya memilih bekerja menjadi buruh setelah lulus SMP. Ada yang cukup beruntung menamatkan pendidikan SMKnya dan memilih bekerja sebagai TKI. Bagi Ranggi itu dunia yang tak dapat ia masuki dan ia tak dapat memahaminya. Menginjak Ranggi dewasa, ia mulai memahami arti jurang sosial. Betapa beragamnya hidup manusia dan apa implikasi dari hal-hal itu.
Ranggi tersenyum, ia selalu bersyukur dengan hidupnya ketika mengingat teman-teman kampungnya itu.

Mobil Ranggi kini sudah keluar dari kemacetan. Plat mobil B 5115 DS itu sudah tak kelihatan lagi. Ia mempercepat laju mobilnya dan menyalakan musik kembali. Lagu yang sedang diputar adalah theme music gengnya. Ingatannya pun melayang akan obrolan minggu lalu dengan teman-temannya itu.

“Lo tuh parah banget polosnya!” ujar Gaby, salah satu anggota gengnya yang memiliki suara paling keras.

“Polos gimana?” tanya Ranggi. Ia selalu kesal jika dibilang polos oleh teman-temannya.

“Ya polos. Contohnya nih, lo tuh nurut banget sama kata-kata bokap lo!”

“Iya dong, emang mau nurut siapa kalau bukan bokap gue?” kata Ranggi.

“Ya, bukan begitu maksud gue, emang lo nggak punya pikiran sendiri?” jawab Ranggi.

“Bukannya nggak ada, tapi setelah gue pikir-pikir nggak ada salahnya gue turutin nasehat bokap gue, toh biasanya selalu menghasilkan hasil yang baik. Toh gue juga senang-senang aja ngejalaninnya tuh.”

“Usia lo berapa sih Ranggi? Empat tahun kuliah nggak ada perkembangan sama sekali” kata Gaby lagi, ‘sampai kapan lo mau nurutin semua perintah bokap lo? Jangan-jangan sampai kawin juga masih nurutin perintah bokap lo?’

Ranggi menggeleng, “Ya enggaklah, kalau kawin ya harus nurutin kata-kata suami gue!”
Rika dan Sandra yang mendengarnya hanya saling pandang.

“Gue kesel ngelihatnya!” geram Gaby melihat ekspresi polos Ranggi, ‘ini anak sudah 22 tahun polosnya nggak hilang-hilang!’

Rika segera menengahi pembicaraan, “Ya udah si. Biarin aja. Ngapain sih ngeributin hal-hal kayak gitu.”

“Tapi gue harap Ranggi paham sama kata-kata Gaby, semua yang dia katakana ada benarnya” kata Sandra

“Maksud kita Nggi, sekarang lo udah 22. Udah waktunya berpikir sendiri kan, lo mau ngapa-ngapain ke depannya. Nggak harus nunggu nasehat dari bokap lo. Dan saran gue, lebih baik lo pertimbangin deh saran bokap lo tentang lamaran pekerjaan itu. Bukan berarti gue nggak suka companynya ya…” kata Rika, ‘tapi gue sama sekali nggak ngeliat lo tertarik di bisnis!’

Ranggi terus terngiang kata-kata Rika. Obrolan itu terjadi setelah Ranggi bercerita kepada mereka tentang keinginan ayahnya agar ia melamar pekerjaan sebagai MT di salah satu multinational company yang bergerak di bidang food & beverage. Pertimbangan ayahnya agar kelak Ranggi mampu meneruskan perusahaan ayahnya. Memang usaha keluarga Ranggi di bidang food & beverage juga walau masih skala kecil. Ranggi sendiri bingung menentukan pekerjaan yang ingin ia lakukan ke depan. Untuk saat ini, nasehat ayahnya menjadi satu-satunya penuntun yang dapat ia andalkan. Pada akhirnya ia mempersiapkan berkas-berkas administrasi yang dibutuhkan untuk melamar MT itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi-bagi pendapatnya ya...